Jumat, 02 Oktober 2009

SAYAP TAK PERNAH PATAH

(Artikel ini saya cuplik dari Buku SERIAL CINTA oleh Anis Matta, yg merupakan kumpulan artikel yg diterbitkan di Majalah Tarbawi...terinspirasi bbrp teman yg memberi pujian utk artikel ini...semoga bisa bermanfaat utk teman2 yg sedang diuji dgn 'cinta' ataupun sdg menjadi 'konsultan cinta' atau utk kita smua yg ingin merekonstruksi persepsi ttg 'cinta'. Tapi selera tiap orang berbeda, ada yg termehek2 ktk membaca ini, ada juga tipe yang apatis..'mellow banget sih??'..smua terserah Anda...silahkan menikmati..jika Anda tertarik silahkan hunting bukunya)

Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air mata. Dunia tidak merah jambu disana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan merata di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung.
O, burung, adakah yang mau meminjamkan sayap,
Aku ingin terbang menjemput kekasih hati
Mari kita ikut berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawa, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu tak kan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.”Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdirNya, Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah ‘pekerjaan jiwa’ yang besar dan agung : MENCINTAI.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang sesungguhnya terjadi hanyalah ‘kesempatan memberi’ yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kita memiliki cinta, memiliki ‘sesuatu’yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya : “Apakah yang akan kuberikan?’ Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini : kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar