Selasa, 30 Juni 2009

ROKOK PEMBUNUH NO. 1 DI DUNIA Apakah Kita Berdiam Diri ? (Bagian 1 dari 3 Bagian)

"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

Tembakau merupakan zat adiktif (dapat menyebabkan kecanduan bagi penggunanya) yang beredar bebas di pasaran. Tembakau dapat mempengaruhi semua penduduk akibat dari harganya yang sangat rendah, iklan rokok yang gencar memasarkan produknya, kurangnya kesadaran penduduk akan bahaya tembakau serta kurang konsistennya penerapan peraturan pemerintah.

Penggunaan tembakau telah menjadi masalah kesehatan global karena dampak yang ditimbulkannya, bukan hanya pada kesehatan penduduk, tetapi juga pada ekonomi rumah tangga dan negara. Asap tembakau berbahaya terhadap perokok dan orang disekitarnya. Dengan kandungan lebih dari 4000 bahan berbahaya, tembakau telah menjadi faktor resiko utama pada 6 dari 8 penyebab kematian di dunia yang mengancam milyaran pria, wanita dan anak-anak dalam abad ini. Kematian karena tembakau di seluruh dunia mencapai 1 kematian tiap 6 detik, 100 juta jiwa selama abad 20 dan jika dibiarkan 1 milyar jiwa selama abad 21.

Di Indonesia, menurut Studi Mortalitas Survei Kesehatan Nasional tahun 2001, merokok meningkatkan resiko kematian 1,3 – 8,2 kali di antara penyakit kronis (seperti PPOK, Hipertensi, Penyakit Jantung Iskenik, Kanker Trakea, Bronkus, Paru, Hati, Lambung, Mulut dan Nasofaring). Dari sekitar 2/3 perokok dunia yang tinggal di 10 negara, Indonesia menempati posisi ketiga pada tahun 2007. Data Susenas menunjukkan peningkatan prevalensi perokok dewasa dari 31,5 % pada tahun 2001 menjadi 34 % pada tahun 2004, sedangkan yang mencengangkan terjdi pada perokok usia 5 – 9 tahun, dari 0,4 % pada tahun 2001 menjadi 1,8 % pada tahun 2004. Pada tahun 2005, biaya kesehatan yang dikeluarkan Indonesia karena penyakit akibat tembakau mencapai 18,1 milyar USD atau 5,1 kali lipat pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama (Kosen, S. 2007. Indonesia Report Card).

Melihat fenomena-fenomena di atas, ditambah satu fakta lagi bahwa tembakau merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia yang dapat dicegah (World Health Report, 2003), maka WHO menyarankan langkah-langkah pengendalian tembakau dan kematian yang disebabkannya dengan strategi MPOWER, seperti disampaikan oleh dr. Yusni, Sp.KJ (perwakilan dari WHO di Indonesia) dalam Symposium of Tobacco Control, yaitu Monitoring Penggunaan Tembakau dan Kebijakan Pencegahannya; Perlindungan terhadap Asap Tembakau; Optimalkan Dukungan untuk Berhenti Merokok; Waspadakan Masyarakat akan Bahaya Tembakau; Eliminasi Iklan, Promosi dan Sponsor terkait Tembakau; Raih Kenaikan Cukai Tembakau.

Tak bisa dipungkiri strategi ini butuh dukungan berbagai pihak seperti pemerintah, LSM, media, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi. Dan untuk mendapat dukungan dari semua elemen tersebut tidaklah mudah, WHO harus bekerja ekstra terutama berkaitan advokasi dengan pemerintah yang saat ini masih sulit. Dan memang semua elemen tersebut harus bersatu mengatasi epidemi penggunaan tembakau ini, karena yang dihadapi adalah perusahaan raksassa internasional atau boleh dikatakan ‘mafia rokok’, seperti dikatakan Wartawan Senior KOMPAS, Irwan Yulianto, sebagai narasumber dari sisi peran media dalam pengendalian tembakau dalam Symposium of Tobacco Control. Ia juga mengungkap, dalam upaya Pengendalian Tembakau, di antara negara-negara di dunia, Indonesia masih sangat ketinggalan bahkan dibanding Timor Leste, yang notabene negara baru jebolan Indonesia. Sebagai contoh lain, dalam hal pajak cukai tembakau, Indonesia menduduki posisi ke-2 terendah di Asia Tenggara setelah Kamboja. Menurutnya pemerintah belum punya gigi untuk melawan mafia rokok dunia. Oleh karena itu, advokasi terhadap pemerintah memang harus ditingkatkan, termasuk peran media sangat penting disini.

Jadi apa yang bisa kita lakukan sebagai tenaga kesehatan untuk berperan serta dalam upaya pengendalian tembakau ini ? Ataukah hanya berdiam diri, padahal kita sudah sangat familiar dengan penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat penggunaan rokok ? Dari strategi MPOWER ini, mungkin ada langkah kecil yang bisa kita lakukan dari sisi O dan W.

Optimalkan Dukungan untuk Berhenti Merokok dan Waspadakan Akan Bahaya Tembakau

Apakah kita selalu menanyakan kepada setiap pasien yang kita periksa, “apakah merokok?” atau kita menanyakan hanya jika pasien datang dengan keluhan gangguan pernafasan ? Suatu studi pada dokter Puskesmas di wilayah Yogyakarta menunjukkan bahwa hanya 8,2 % dokter laki-laki dan 1,6 % dokter perempuan yang selalu menanyakan apakah pasiennya merokok atau tidak. Sebagian besar hanya menanyakan status merokok pada pasiennya bila pasien datang dengan keluhan gangguan pernafasan (85,4 % dokter laki-laki dan 89,6 % perempuan). Penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa hanya 29,5 % dokter laki-laki dan 44,1 % dokter perempuan di puskesmas yang menasehati pasiennya yang merokok untuk berhenti. Padahal pelayanan konsultasi berhenti merokok yang terintegrasi di pelayanan kesehatan primer oleh tenaga kesehatan pada setiap kunjungan dapat meningkatkan jumlah orang yang berhenti merokok. Jadi dari satu hal kecil ini yang sering terlupakan, kita bisa turut serta dalam kampanye anti rokok. Cukup dengan menanyakan apakah pasien merokok? Jika YA, apakah punya keinginan berhenti merokok? Lalu edukasi tentang cara berhenti merokok, berarti kita telah berpeluang menambah jumlah orang yang akan berhenti merokok.

Selain itu layanan bantuan berhenti merokok melalui telepon juga menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan prevalensi merokok dan juga memperkenalkan terapi pengganti nikotin bagi pecandu rokok, seperti nicotine replacement therapy (nicotine patches/gum/nasal spray), antidepresan dan varenicline yang bekerja pada reseptor nikotin di otak dan mencegah pengeluaran dopamine yang memblokir sensasi kenikmatan yang dialami saat merokok.

Posisi kita sebagai tenaga kesehatan mempunyai nilai lebih untuk memberikan informasi tentang bahaya merokok kepada masyarakat, jadi jangan sia-siakan setiap kesempatan ketika berinteraksi dengan masyarakat untuk menyampaika informasi tersebut. Bergabung dengan LSM yang bergerak di bidang tersebut juga bisa menjadi alternatif lain untuk berperan dalam kampanye anti tembakau ini.

Dalam sebuah sesi diskusi dalam Symposium of Tobacco Control, topik hangat yang cukup menggelitik adalah usulan agar IDI tidak mengeluarkan rekomendasi Surat Ijin Praktek untuk dokter yang masih merokok. Mengingat sungguh ironis memang, masih banyak tenaga kesehatan ternyata masih merokok.

Meminjam istilah Aa’ Gym, untuk turut serta dalam kampanye anti rokok ini tidak ada salahnya kita terapkan strategi 3M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang kecil, Mulai saat ini juga) untuk menyelamatkan dunia dari epidemi akibat rokok.

Sumber : Makalah Symposium of Tobacco Control, Makassar, 26 Juli 2008

Kerjasama IDI Wilayah Sulsel-WHO(Country Officer for Indonesia)

Jumat, 26 Juni 2009

Coz you aren't A MOM


Belum genap satu tahun saya bertugas di puskesmas terpencil, mungkin sering saya jumpai pertanyaan-pertanyaan senada, “Dok, tolong dikasih vitamin penambah nafsu makan, sulit sekali makannya atau dikasih obat cacing mungkin cacingan dok?”

Saya pasti langsung memberondong dengan pertanyaan memvonis, “Pasti suka jajan ya, makan kerupuk, mie, permen, ya kan? Makanya malas makan di rumah, sudah kenyang jajan sih. Kalo di rumah dimasakin apa bu? Pasti kalo diajak makan coto mau kan? Ibu kurang enak kali masaknya?...”dan sederet pernyataan menyalahkan sang ibu, yang kadang saya ungkapkan atau hanya dalam hati.

Mengingat kultur masyarakat pedesaan yang kebanyakan kurang dari sisi pendidikan maupun ekonomi, saya menganggap sah ‘hipotesis’ bahwa anak-anak di daerah kerja puskesmas saya sulit makan dan akhirnya sering jajan karena kesalahan orang tua. Ditambah pernyataan mereka, “bagaimana lagi dok, kalo tidak dikasih uang jajan menangis jadi tidak tega; daripada tidak makan dok; mau beli ikan atau telur tidak ada uang dok ...” dan sederet pembelaan ibu-ibu yang saya anggap lalu.

Tetapi pikiran-pikiran itu, prasangka-prasangka itu langsung berubah ketika saya membaca buku “Catatan Hati Bunda” yang merupakan kumpulan kisah Asma Nadia, penulis buku itu, tentang bagaimana suka duka menjadi ibu. Ketika saya membaca fragmen ‘Perjuangan Satu Sendok’, ...subhanallah... perjuangan seorang ibu untuk menyuapi anaknya, untuk memastikan bahwa anaknya mendapat gizi yang baik, memastikan bahwa anaknya akan tumbuh dengan normal!!!L U A R B I A S A!

Dikisahkan dalam buku itu, bagaimana dia melewati fase-fase dimana anak-anaknya sulit makan. Ketika anak pertamanya mulai pandai melepehkan makanan, mengunci mulut rapat-rapat, dia mulai berpikir mungkin kreativitas memasak akan menjawab permasalahan hingga ia mulai mencari pembantu karena dia tidak pandai memasak. Hingga akhirnya tiba juga suatu masa dia tidak lagi berprinsip “...kamu harus masak makanan bunda, sayang...”, tetapi yang penting ada yang masuk ke perut anak-anak. Tantangan bertambah ketika si sulung menderita flek paru dan dokter menyarankan untuk konsumsi susu lebih banyak, otomatis beban susu membuat perjuangan memasukkan satu sendok makanan menjadi lebih sulit. Dan ketika anak memasuki usia balita, tantangan berubah, mereka tidak lagi menolak sendok masuk, tidak lagi melepehkan. Mereka hanya membiarkan makanan ‘berlumut’ di mulut.

Dan saya langsung tertunduk malu ketika mata saya tertumbuk pada beberapa paragraf berikut :

Saya teringat lagi obrolan ibu-ibu (‘Anaknya Bude Hani nggak pernah mau makan nasi! ; ‘Wah, jangan-jangan sama dengan anaknya Tante Ana yang setiap hari hanya mau makan mie instan’). Terbayang anak-anak hanya makan mie instan. Saya yakin ibunda mereka pasti sudah berjuang keras untuk menghindari hal itu.

Saya tidak bisa membayangkan anak-anak besar dan terbiasa hanya makan indomie. Saya bersumpah dalam hati, di luar ketidak bisaan saya, anak-anak harus makan tiga kali sehari dengan menu yang sehat, di luar susu. Ada kalanya saya bawa anak makan sambil bermain sepeda roda tiganya, barangkali bisa menambah nafsu makan jika melihat temannya juga sedang makan, ternyata hanya sekali dua, karena lebih sering jalan-jalan sesudah keliling-keliling hingga kaki saya pegal, dan hanya beberapa sendok yang masuk ke mulut.

Saya dan ayahnya melakukan apapun, selain memaksa sendok untuk masuk ke mulut anak-anak. Saya harus memainkan sendok layaknya pesawat terbang yang memerlukan landasan, bernyanyi sambil berjingkrak-jingkrak, membawakan tarian ala Hiawata (tokoh kartun Indian Disney), mengenakan topeng, memukulkan centong nasi ke berbagai wadah, kaleng, toples, bangku dingklik...apa saja agar si kecil ‘lengah’, bahkan memasukkan kepala ke dalam toples kerupuk ukuran besar, agar ananda tertawa dan satu sendok nasi dengan sedikit lauk bisa masuk ke mulutnya.

Kadang saya dan ayahnya menceritakan sesuatu yang lucu atau menciptakan permainan baru, hanya agar masa-masa makan berlangsung sukses. Saya tidak akan menyerah...

Jika hanya harus berjuang,

Jika hanya harus bertumpah peluh,

Jika hanya harus mengadu kreatif dan kesabaran...

Untuk ananda terkasih,

Insya Allah, Cinta. Sekuat tenaga, akan Bunda, dan Ayah lakukan.

Dan ingat, kami tidak akan pernah menyerah.

Betapa ibu-ibu itu tidak berpendidikan, tidak mampu secara ekonomi, bertampang tidak peduli dengan anaknya yang kumal tidak terawat, kita tidak berhak meremehkan perjuangan mereka. Saya baru sadar di balik wajah ibu-ibu yang polos itu, pasti tersimpan berjuta kasih sayang yang tak terhingga untuk anaknya tercinta, hanya dia yang tahu cara mengungkapkan kasih sayangnya, kita tidak berhak menghakiminya. Kita tidak punya hak apapun. Kita hanya WAJIB memberinya semangat!

Untuk ibu-ibu yang telah rela berkilo-kilo datang ke puskesmas, berjalan kaki atau harus merogoh kocek untuk naik ojek, hanya untuk mendapatkan yang terbaik untuk anaknya, maafkanlah perkataan saya yang terlalu lancang ...karena saya belum tahu betapa sayangnya engkau pada ananda, karena saya tidak tahu betapa besar perjuangan yang telah engkau lakukan untuk ananda, karena saya belum pernah menjadi ibu,...sekali lagi...COZ I’M NOT A MOM. sebagaimana saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya kolik abdomen, bagaimana tersiksanya orang yang mual muntah saya paksa makan...sehingga saya bisa seenaknya memberi komentar kepada mereka semuanya...

Berhati-hatilah wahai teman sejawat dalam memilih kata terhadap pasien karena siapa tahu perkataan kita telah melukai hati mereka bahkan mematahkan semangat mereka, karena bagaimanapun luka yang dibuat paku yang tertancap pada sebuah kayu tidak akan pernah hilang.

Dan rasanya tidak sulit kita mengatakan, “Ibu pasti bisa!!!”

Makassar,201209,00:00